Oleh: Aang Kunaifi, ST (Trainer LMT TRUSTCO Jakarta)
Pahlawan, nama ini memang menyimpan pesona yang sungguh luar biasa,
sehingga kita tidak sungkan untuk menghadiahkan kekaguman, pujian dan
bahkan mungkin lebih daripada itu kepada mereka. Kecintaan yang tidak
membutuhkan balasan justru malah membuat kita semakin termotivasi untuk
membalasnya. Kekaguman adalah bentuk kecil dari itu, lidah pun tidak
sampai hati untuk tidak berucap
Tapi sehebat apapun mereka, pemimpin dan pahlawan itu tetap seorang
manusia, sedang ia adalah tempat kesalahan dan kealpaan. Seorang
manusia, termasuk pemmpin dan pahlawan, pasti pernah melakukan
kesalahan, bahkan kadang lebih jauh bisa menyimpan paradoksal
Abraham Lincoln, salah satu presiden Amerika Serikat, pernah mengakui
kesalahannya ketika mengajukan diri sebagai anggota kongres tahun 1832.
Steve JobsSteve Jobs bisa menjadi pribadi yang tidak menyenangkan bagi
orang lain dan cenderung sembrono. Akan tetapi, ia tidak segan mengakui
kesalahan yang pernah dibuatnya.
Meski Jobs digambarkan sebagai direktur Apple yang persuasif dan
karismatik, sejumlah karyawannya pada waktu itu menggambarkannya sebagai
manajer yang selalu berubah pikiran dan temperamental. Penurunan
penjualan di seluruh industri menjelang akhir 1984 mengakibatkan
keretakan hubungan kerja Jobs dengan Sculley, dan pada akhir Mei 1985 –
setelah ketegangan internal dan pengumuman PHK besar-besaran – Sculley
malah mengakhiri jabatan Jobs sebagai kepala divisi Macintosh.
Kesalahan yang dilakukan oleh seorang pemimpin adalah hal yang lumrah
dan sangat biasa. Tetapi menjadi lain maknanya ketika
kesalahan-kesalahan itu – karena ego - tidak pernah disadari dan
diakui. Sehingga harapan bagi adanya perbaikan semakin jauh. Masalahnya
memang masih ada pemimpin yang bungkam (code of silence) dengan
kesalahan-kesalahan itu, agar dianggap sebagai makhluk yang tidak
tercela.
Dalam buku “Breaking The Code of Silence”, penulisnya yaitu DR.
Mitchell E Kusy dan DR. Loullen N. Essex menybutkan tujuh gejala
kesalahan pemimpin. Saya coba untuk membahas empat dari tujuh gejala
kesalahan pemimpin tersebut. Pertama, “
Engagement Gridlock”
(penghalang jalan), yaitu sikap perfeksionis dan ingin menyelesaikan
segala pekerjaan sendirian. Sikap ini berbahaya bagi sebuah organisasi.
Sikap ini akan membuat staf atau bawahan dari pemimpin tersebut sulit
untuk berkembang karena kepercayaan itu tidak pernah diberikan.
Resikonya akan muncul ketika pemimpin tersebut sedang benar-benar
membutuhkan bantuan dari staf-stafnya, mereka tidak siap karena memang
sebelumnya tidak pernah berlatih atau berpengalaman, karena tidak pernah
menerima sebuah tanggung jawab.
Kedua,
“Misaligned Momentum” (momen menyimpang), langkah
yang menentukan tapi salah arah. Gejala atau sikap ini biasa terjadi
pada seorang pemimpin yang tingkat kepercayaan dirinya tinggi sekali,
sehingga sering abai dengan variabel-variabel lain, seperti masukan dari
staf, bawahan atau bahkan pimpinan yang lain. Pemimpin seperti ini
meyakini bahwa hanya ide atau gagasannya saja yang benar, sedang yang
lain salah.
Ketiga,
“Political Misread” (salah membaca situasi
politik). Kesalahan seperti ini biasanya terjadi dalam kepemimpinan
dalam dunia politik yang kita ketahui mempunyai eskalasi yang sangat
dinamis. Ketidakmampuan dalam membaca situasi berujung kepada
pengambilan keputusan dan
positioning pada peta yang salah.
Situasi seperti ini beresiko kepada kemunculan musuh-musuh baru, bukan
sebaliknya memperbanyak dan memperkuat aliansi untuk pencapaian sebuah
tujuan.
Keempat,
“Too Much Too Soon” (terlalu cepat melompat). Kita
mengenal adanya jenjang karir dalam dunia kepemimpinan. Selain berfungsi
bagi selektifitas, jenjang karir ini juga akan membentuk jiwa dan
mental kearifan bagi seorang pemimpin. Kekayaan pengalaman yang akan
sangat berguna bagi dirinya ketika nantinya berada pada
on the top. Tapi
memang kita juga mengecualikan sosok yang mampu menempuh jalur cepat
(fast track). Sosok seperti ini, kalau tidak diiringi dengan sikap jiwa
untuk menjadi pribadi pembelajar yang juga cepat, akan rentan mengidap
gejala yang keempat ini. Muhammad Al Fatih Murad sempat merasakan gejala
ini, hingga membuatnya mundur untuk sementara waktu dari jabatan
sebagai seorang raja sebelum akhirnya menorehkan tinta sejarah yang
agung, membebaskan konstantinopel. (--Cont)
Sumber :
http://trustco.or.id/berita-89-pemimpin-tidak-boleh-salah.html